Jumat, 01 Juli 2011

Sarjana kok Berdagang


Diantara kesuntukan mengerjakan laporan pertanggungjawaban yang sudah nunggak beberapa bulan dan kekhawatiran atas hasil musyawarah mahasiswa dikampus sebuah sms masuk ke dalam handphone saya. Sms dari adek angkatan yang memastikan apakah flashdisknya terbawa oleh saya.

Memang beberapa hari yang lalu saya menemukan flashdisk yang tertinggal di ruang kuliah no 25, lantai 3, gedung FEB universitas Airlangga, itu kali pertama saya memasuki ruangan kuliah yang bernuansa agak sedikit beda dengan ruang kuliah di gedung lama.
Ruangannya di desain seperti ruangan mini teater, kursi empuk seperti di bioskop, tatanan kursi membentuk leter U. Cuma ada dua Ac di ruangan itu tapi dinginnya bukan main.

Kembali ke flashdisk adek angkatan saya. Iseng-iseng saya masukan flashdisk 4GB tersebut ke dalam laptop. Dengan rasa ingin tahu dan merasa bersalah karena telah membuka tanpa izin. Akhirnya saya menemukan suatu folder film. Eits…jangan mikir yang tidak-tidak, mikir yang iya-iya saja. Sebuah film yang dapat membuat saya tertawa, berfikir hingga akhirnya menangis tersedu.

Film yang sudah cukup lama judulnya “Alangkah lucunya Negeri Ini”. menit-menit pertama menyaksikan film ini saya agak tersinggung. Film ini mengisahkan seorang Sarjana Manajemen yang belum juga mendapatkan pekerjaan. Sebagai seoran mahasiswi program studi Manajemen tentu saja rasanya mak jleb jleb di hati. Tapi bukan masalah, saya anggap karena saking populernya Program studi Manajemen sampai-sampai dijadikan study case dalam film ini lagi pula bukan itu yang ingin saya ulas.

Dalam film ini diceritakan seorang Sarjana Manajemen bernama Muluk, ia melamar kesana-sini tapi tak kunjung mendapat pekerjaan. Muluk jatuh cinta pada Rahmah anak Hj. Sarbini tapi beliau tidak mau jika calon mantunya belum juga mendapatkan pekerjaan. Hal pertama yang membuat saya tergelitik adalah  percakapan antara ayahanda Muluk dan Hj. Sarbini.
“Begini aja sekarang mendingan Si Muluk suru aja bukak usaha sablon tu ney orang lagi pada bikin kaos sama bikin spanduk” kata Hj Sarbini.
Ayahanda Muluk menjawab “Sarjana Manajemen masak bikin sablon”.
Apakah Muluk tidak diajarkan mata kuliah yang berkaitan dengan kewirausahaan? Ataukan ayahandanya saja yang tidak paham?
Apakah pandangan orang tua rata-rata masih sama, seorang lulusan sarjana harus menjadi pegawai? Sebenarnya ragu juga mengulas hal ini, karena yang lebih pantas mengulasnya dalah orang-orang yang sudah memiliki usaha sendiri sedangkan saya belum. Tapi apa salahnya mungkin bisa menjadi motivasi bagi diri sendiri juga.

Berdasarkan artikel yang saya baca di website tempo link, tahun ini baru ada sekitar 400 wirausahawan muda yang sukses padahal idealnya dua persen dari total penduduk atau 4,4 juta.
Ya, benar untuk mengangkat perekonomian negeri diperlukan 4,4 juta wirausahawan muda yang sukses. Kenapa harus wirausaha? Kenapa harus bisnis?
Sembilan dari sepuluh pintu rezeqi, kata Rasulullah, ada dalam perniagaan. Dalam buku Gue never Die, Salim A. Fillah menuliskan dalam diri seorang pengusaha –dan tidak pada yang lain-, hamper-hampir otomatis ada pembelajaran-pembelajaran diantaranya:
  • Menghargai waktu dan kerja keras
  • Agar mengerti apa itu resiko
  • Agar berjiwa merdeka
  • Agar menghargai silaturahmi
  • Agar berwawasan luas
  • Agar cerdas mengelola anggaran
  • Agar bisa belajar kepemimpinan
  • Agar merasakan indahnya shadaqah
  • Agar lebih peka untuk bersyukur dan bersabar
  • Dan merasakan indahnya member kemanfaatan bagi orang lain

Jadi sepertinya sudah saatnya buang jauh-jauh pikiran “Sarjana koq jadi pedagang”
Sengaja saya pisahkan ulasan ini dengan ulasan sebelumnya agar tidak menjadi rancu dan pembaca tidak menjadi lelah pada saat membacanya.

Hal kedua yang ingin saya ulas adalah ketika orang tua Pipit dan Muluk mengetahui bahwa uang yang di dapatkan Pipit dan Muluk adalah hasil dari kerja pencopet-pencopet cilik yang dibina mereka.
Orang tua mereka merasa hancur, merasa telah gagal mendidik anak-anak mereka. Karena ternyata anak yang mereka didik mendapat penghasilan dari uang yang tidak halal.

Muluk dan Pipit memutuskan untuk berhenti membina pencopet-pencopet ini. muluk memtuskan untuk belajar menyetir agar dapat menjadi TKI yang dikirim ke arab Saudi seperti keinginan ayahandanya. Pipit kembali pada kebiasaanya menonton televisi saja dan mengharapkan mendapatkan hadiah dari kuis-kuis yang ada di tivi, dan yang parah adalah teman Muluk yang satu lagi. Samsul, dia adalah sarjana pendidikan yang menganggur pekerjaannya sehari-hari hanya maen gaplek. Dia merasa begitu berarti ketika membina pencopet-pencopet cilik namun sekarang dia kembali menjadi pengangguran yang kerjaannya hanya maen gaplek setiap hari.

Hal yang saya soroti adalah, untuk menghindari kemudharatan yang timbul dari penghasilan yang tidak halal alias haram, keputusan Muluk telah menyebabkan kemudharatan yang lebih besar yaitu Pipit yang kembali menyia-nyiakan waktunya di depan tivi, Samsul yang maen gaplek setiap hari, dan yang jelas adik-adik pencopet cilik yang tidak lagi terbina. Fathi Yakan dalam buku Robohnya Dakwah di Tangan Dai beliau menulis
Mereka mengingkari kemungkaran, tetapi terjerumus ke dalam kemungkaran yang lebih besar. Mereka tidak mengindahkan kaidah yang mengatakan “Tinggalkan kebaikan yang menumbuhkan potensi kerusakan” juga kaidah, “Menolak kerusakan didahulukan atas mengambil kemanfaatan”
Dalam hemat saya menolak kerusakan, dalam hal ini kembalinya Pipit, samsul, dan adek-adek pencopet ked dalam kebiasaan lamanya seharusnya lebih didahulukan.
Masalah pendapatan yang tidak halal dalam hal ini memang sulit diambil solusinya. Teringat kalimat yang dikatakan Pipit
“Bah klo Pipit punya orang tua kaya, punya duit banyak, Pipit sanggup nggak digaji buat ngajar copet-copet itu. Paling tidak Abah nggak perlu lagi ngasi Pipit uang jajan, yak an? Paling tidak Pipit mau melakukan sesuatu yang berarti, ya kan?”

Yah…Money is not everything but without money everything is nothing
Wallahua’alam bi shawab