Diantara kesuntukan mengerjakan
laporan pertanggungjawaban yang sudah nunggak beberapa bulan dan kekhawatiran
atas hasil musyawarah mahasiswa dikampus sebuah sms masuk ke dalam handphone
saya. Sms dari adek angkatan yang memastikan apakah flashdisknya terbawa oleh
saya.
Memang beberapa hari yang lalu
saya menemukan flashdisk yang tertinggal di ruang kuliah no 25, lantai 3,
gedung FEB universitas Airlangga, itu kali pertama saya memasuki ruangan kuliah
yang bernuansa agak sedikit beda dengan ruang kuliah di gedung lama.
Ruangannya di desain seperti
ruangan mini teater, kursi empuk seperti di bioskop, tatanan kursi membentuk
leter U. Cuma ada dua Ac di ruangan itu tapi dinginnya bukan main.
Kembali ke flashdisk adek
angkatan saya. Iseng-iseng saya masukan flashdisk 4GB tersebut ke dalam laptop.
Dengan rasa ingin tahu dan merasa bersalah karena telah membuka tanpa izin.
Akhirnya saya menemukan suatu folder film. Eits…jangan
mikir yang tidak-tidak, mikir yang iya-iya saja. Sebuah film
yang dapat membuat saya tertawa, berfikir hingga akhirnya menangis tersedu.
Film yang sudah cukup lama
judulnya “Alangkah lucunya Negeri Ini”. menit-menit pertama menyaksikan film
ini saya agak tersinggung. Film ini mengisahkan seorang Sarjana Manajemen yang
belum juga mendapatkan pekerjaan. Sebagai seoran mahasiswi program studi
Manajemen tentu saja rasanya mak jleb
jleb di hati. Tapi bukan masalah, saya anggap karena saking populernya Program studi Manajemen sampai-sampai dijadikan study case dalam film ini lagi pula
bukan itu yang ingin saya ulas.
Dalam film ini diceritakan
seorang Sarjana Manajemen bernama Muluk, ia melamar kesana-sini tapi tak
kunjung mendapat pekerjaan. Muluk jatuh cinta pada Rahmah anak Hj. Sarbini tapi
beliau tidak mau jika calon mantunya belum juga mendapatkan pekerjaan. Hal
pertama yang membuat saya tergelitik adalah percakapan antara ayahanda Muluk dan Hj.
Sarbini.
“Begini aja sekarang mendingan Si
Muluk suru aja bukak usaha sablon tu ney orang lagi pada bikin kaos sama bikin
spanduk” kata Hj Sarbini.
Ayahanda Muluk menjawab “Sarjana
Manajemen masak bikin sablon”.
Apakah Muluk tidak diajarkan mata
kuliah yang berkaitan dengan kewirausahaan? Ataukan ayahandanya saja yang tidak
paham?
Apakah pandangan orang tua
rata-rata masih sama, seorang lulusan sarjana harus menjadi pegawai? Sebenarnya
ragu juga mengulas hal ini, karena yang lebih pantas mengulasnya dalah
orang-orang yang sudah memiliki usaha sendiri sedangkan saya belum. Tapi apa
salahnya mungkin bisa menjadi motivasi bagi diri sendiri juga.
Berdasarkan artikel yang saya
baca di website tempo link, tahun ini baru ada sekitar 400 wirausahawan muda
yang sukses padahal idealnya dua persen dari total penduduk atau 4,4 juta.
Ya, benar untuk mengangkat
perekonomian negeri diperlukan 4,4 juta wirausahawan muda yang sukses. Kenapa
harus wirausaha? Kenapa harus bisnis?
Sembilan dari sepuluh pintu
rezeqi, kata Rasulullah, ada dalam perniagaan. Dalam buku Gue never Die, Salim
A. Fillah menuliskan dalam diri seorang pengusaha –dan tidak pada yang lain-,
hamper-hampir otomatis ada pembelajaran-pembelajaran diantaranya:
- Menghargai waktu dan kerja keras
- Agar mengerti apa itu resiko
- Agar berjiwa merdeka
- Agar menghargai silaturahmi
- Agar berwawasan luas
- Agar cerdas mengelola anggaran
- Agar bisa belajar kepemimpinan
- Agar merasakan indahnya shadaqah
- Agar lebih peka untuk bersyukur dan bersabar
- Dan merasakan indahnya member kemanfaatan bagi orang lain
Jadi sepertinya sudah saatnya
buang jauh-jauh pikiran “Sarjana koq jadi pedagang”
Sengaja saya pisahkan ulasan ini
dengan ulasan sebelumnya agar tidak menjadi rancu dan pembaca tidak menjadi
lelah pada saat membacanya.
Hal kedua yang ingin saya ulas
adalah ketika orang tua Pipit dan Muluk mengetahui bahwa uang yang di dapatkan
Pipit dan Muluk adalah hasil dari kerja pencopet-pencopet cilik yang dibina
mereka.
Orang tua mereka merasa hancur,
merasa telah gagal mendidik anak-anak mereka. Karena ternyata anak yang mereka
didik mendapat penghasilan dari uang yang tidak halal.
Muluk dan Pipit memutuskan untuk
berhenti membina pencopet-pencopet ini. muluk memtuskan untuk belajar menyetir
agar dapat menjadi TKI yang dikirim ke arab Saudi seperti keinginan
ayahandanya. Pipit kembali pada kebiasaanya menonton televisi saja dan
mengharapkan mendapatkan hadiah dari kuis-kuis yang ada di tivi, dan yang parah
adalah teman Muluk yang satu lagi. Samsul, dia adalah sarjana pendidikan yang
menganggur pekerjaannya sehari-hari hanya maen gaplek. Dia merasa begitu
berarti ketika membina pencopet-pencopet cilik namun sekarang dia kembali
menjadi pengangguran yang kerjaannya hanya maen gaplek setiap hari.
Hal yang saya soroti adalah,
untuk menghindari kemudharatan yang timbul dari penghasilan yang tidak halal
alias haram, keputusan Muluk telah menyebabkan kemudharatan yang lebih besar
yaitu Pipit yang kembali menyia-nyiakan waktunya di depan tivi, Samsul yang
maen gaplek setiap hari, dan yang jelas adik-adik pencopet cilik yang tidak
lagi terbina. Fathi Yakan dalam buku Robohnya Dakwah di Tangan Dai beliau
menulis
Mereka mengingkari kemungkaran, tetapi terjerumus
ke dalam kemungkaran yang lebih besar. Mereka tidak mengindahkan kaidah yang
mengatakan “Tinggalkan kebaikan yang menumbuhkan potensi kerusakan” juga
kaidah, “Menolak kerusakan didahulukan atas mengambil kemanfaatan”
Dalam hemat saya menolak kerusakan,
dalam hal ini kembalinya Pipit, samsul, dan adek-adek pencopet ked dalam
kebiasaan lamanya seharusnya lebih didahulukan.
Masalah pendapatan yang tidak
halal dalam hal ini memang sulit diambil solusinya. Teringat kalimat yang
dikatakan Pipit
“Bah klo Pipit punya orang tua kaya, punya duit banyak, Pipit sanggup
nggak digaji buat ngajar copet-copet itu. Paling tidak Abah nggak perlu lagi
ngasi Pipit uang jajan, yak an? Paling tidak Pipit mau melakukan sesuatu yang
berarti, ya kan?”
Yah…Money is not everything but
without money everything is nothing
Wallahua’alam bi shawab